PELUKITARO
by Dian Nafi
Menatap tajam ke
arahku, Hendrik menyelusupkan rasa dan getar yang tak biasa. Aku ketakutan. Kami
sedang berteduh di bawah jembatan tol. Hujan mulai rintik dan kami memutuskan
untuk berteduh sembari beristirahat setelah seharian mengamen dari kampung ke
kampung.
Hendrik memetik
gitarnya lalu dengan lembut melantunkan lagu Kitaro. Children without father.
Titik air mataku tak tertahan, tak urung aku luruh dan hanyut bersama hujan dan
suara emas Hendrik. Luruh dan jatuh ke pelukannya. Pelukan Kitaro-ku.
Kami
telah sama-sama menggelandang sejak puluhan tahun lalu, saat kami sama-sama
kehilangan ayah kami yang terkena bencana alam di masa negeri berselimut kalut
kekacauan korupsi dan berbagai macam mafia.
Kuedarkan
pandangan dan berakhir saat menatap beton jembatan tol di atas kami. Kami
sekeras baja, Kitaro-ku –Hendrik- tak pernah melepaskan aku dari ‘pelukan’nya.
Dia yang selalu ada di dekatku, memahami luka-luka dan rintihanku. Dia
menguatkan aku dan yang paling menakjubkan adalah dia selalu menjagaku. Tak
terbersit dalam pikirannya sekalipun untuk menodaiku, meski banyak sekali
gelandangan, pemulung, pengamen dan anak jalanan di sekitar kami melakukannya.
Hendrik serupa malaikatku. Bahkan menyentuhku saja tidak pernah ia lakukan.
“Kita pulang yuk”
ajak Hendrik sambil menggamit lenganku. Kami berjalan bergandengan tangan
menyusuri sisa hujan. Aku ketakutan. Getar suaranya tak biasa, tubuhnya hangat di tengah hujan yang dingin. Aku ketakutan.
Hendrik mungkin sekali sakit. Kehilangan dia adalah ketakutanku saat ini.
“Aku lapar……..”
tak bisa kusembunyikan nyanyian perutku.Dan sebenarnya aku mengkhawatirkan
Hendrik. Dia harus makan dan minum obat.
“Kita makan sepiring
berdua?” tanyanya. Uang di tangan memang tak seberapa. Aku mengangguk saja,
dengan rencana akan makan satu dua suap saja dan meninggalkan sisanya untuk
dihabiskan Hendrik. Dia lebih membutuhkan daripada aku.
“Ikhlaskan
suamimu” suara itu membangunkan
lamunanku. Suara Irish, manajer kami yang selama seminggu ini menemaniku dan
Hendrik melalui hari-hari berurai air mata di ICU rumahsakit.
Berhasil melalui
sepuluh tahun perjuangan kami meniti kesuksesan setelah masa-masa di bawah
jembatan tol dan melawan penyakit Hendrik, pada akhirnya perpisahan kami tak
terelakkan.
“Aku
mencintaimu, Hendrik. Dulu, sekarang, selamanya,” bisikku di telinganya yang
kini beku dan dingin. Tangan kananku memeluk Kitaro-ku yang terbujur kaku.
Tangan kiriku meraba perutku yang mulai membuncit, a child without father mengalun sepi.
Mantab Mbak. Bagus banget cerpen yang ini.
BalasHapus