By Dian Nafi
“Haji itu harus dengan uang yang halal,” kata-kata itu terngiang di benakku.
Aku memandangi kaos kaki basah yang kuseret dengan hati remuk. Hiks. Adakah ini pertanda ada yang kurang bersih dalam uangku yang kugunakan untuk berhaji.
“Haji itu harus dengan uang yang halal,” kata-kata itu terngiang di benakku.
Aku memandangi kaos kaki basah yang kuseret dengan hati remuk. Hiks. Adakah ini pertanda ada yang kurang bersih dalam uangku yang kugunakan untuk berhaji.
Airmataku juga meleleh, tak terhindarkan. Aku berjalan antara shofa marwa dengan perasaan hancur. Adakah aku ini suci dzohir batin ataukah seperti yang kusangkakan pada diriku sendiri, aku setengah bersih setengah kotor. Mungkin seperberapa bersih seperberapa kotor.
Salahku juga tadi tidak membawa kaos kaki cadangan. Sehingga kaos kaki yang kupakai terpaksa basah karena tak kulepas selama aku masih dalam kondisi ihram melakukan umroh ini. Dan kenapa aku ragu kaos kaki ini masih suci atau tidak, karena aku pergi ke hammam / kamar mandi untuk buang air kecil. Hanya di dalam kamar mandi tertutup, aku bisa membuka kaos kaki sebelum melakukan hajat itu. Tetapi selama melewati ruang hammam yang terbuka, aku tidak mungkin melepaskannya. Jadi siapa tahu di lantai ruang hammam yang terbuka itu suci semua, meski petugas kebersihan selalu berusaha membersihkannya. Siapa yang tahu? Siapa tahu tetap ada yang tidak suci sepanjang jalan itu, dan ada yang nyangkut atau meresap di kaos kaki basahku?
Astaghfirullah. Membayangkannya saja, aku meringis, pilu. Bagaimana kalau tahu kenyataannya. Dan hatiku yang sensitive, yang selalu menghubungkan suatu peristiwa dan keadaan dengan tingkah lakuku sendiri, berderak. Hatiku berdecit. Merintih. Astaghfirullah. Ampuni aku ya Allah, atas semua dosa,kesalahan, kekhilafan, keberanian melanggar laranganMu. Ampuni aku ya Allah,ampuni aku.
Aku berjalan sepanjang shofa marwa dengan kaos kaki basah yang entah kesuciannya dengan berlinang air mata. Sa’i yang tak mungkin kubatalkan begitu saja karena ini sa’i dalam umroh wajib yang sedang kulakukan. Tinggal sedikit lagi perjuangan, kemudian tahalul bercukur dan aku baru bebas. Selesai. Paripurna. Dan aku baru bisa melepas kaos kaki itu.
Yang terus berkecamuk dalam kepalaku adalah kemungkinan –kemungkinan tercampurnya uang hajiku dengan penghasilan yang kurang halal sepenuhnya. Hiks.
Dan kaos kaki basah yang entah itu membasahi dan mungkinkah mengotori, astaghfirullahaladziim semoga tidak, rute sepanjang shofa marwa. Apakah itu artinya aku mengotori rumah Allah ini, masjidil haram. Dan membuat beberapa orang yang berjalan di sepanjang bekas jejak kaos kakiku ikut terkotori,astaghfirullah. Betapa dosa membawa dosa dan menambah dosa di atas dosa. Kotor menularkan kotor, menambah salah di atas salah. Astaghfirullaaaaah……………hatiku remuk redam.
Apakah ada uang yayasan yang dititipkan padaku sebagai bendahara ada yang terlewat pembukuannya, meskipun sedikit? Dan karenanya,uangku sedikit tercampuri? Aku mulai menduga-duga.
Sebenarnya menjadi bendahara yayasan untuk periode lama, karena belum pernah diganti selama empat kali periode, amat berat bagiku. Ada banyak pengeluaran di luar pengeluaran resmi, seperti bensin,waktu dan tenaga yang kugunakan untuk mengambil uang sewa kios – kios milik yayasan setiap bulannya. Sebelumnya tak terbersit tentang hal ini, tetapi hembusan dari ibuku membuatku mengindahkannya. Lalu mulai memasukkan pengeluaran ini sejak entah kapan. Hanya dua ribu rupiah sih per bulan. Tetapi dengan akumulasi sekian lama, beberapa tahun, jumlahnya mungkin jadi tidak sedikit lagi. Apakah itu yang mengotoriku? Mengotori uangku? Termasuk yang kugunakan untuk membayar ongkos haji?
Kepalaku menggeleng-geleng sendiri, menyadari kemungkinan datangnya kotor itu. Entahlah.
Ataukah karena kadang-kadang aku tidak sepenuhnya merampungkan tugas desain dari klien dengan optimal? Kadang karena diburu deadline atau mengerjakan sesuatu sambil momong anak-anak, aku mengerjakannya asal saja? Apakah yang seperti itu termasuk mengotori ?entahlah.
Aku terus meraba-raba. Tapi sedih, itu yang jelas kurasakan.
Menangis meratap di ujung bukit marwah di akhir perjalanan sa’iku. Bersujud di batu – batuan di sana sambil merintih. Alangkah pilu dan pahitnya rasa berdosa.
Aku pulang ke maktabku di Hafair dengan masih berlinang air mata. Sembab dan masih dengan hati yang meleleh.
Atau…..ah,aku ingat. Aku ingat kejadian beberapa hari lalu sehubungan dengan kaos kaki. Apakah itu penyebab semua kekacauan dan kegelisahanku ini?
Entahlah
**
“Wah, nduk. Kaos kakiku bolong”
Mbah Karmi, perempuan tua yang satu kamar denganku di maktab, menunjukkan jempolnya yang keluar nongol dari dalam kaos kakinya.
Aku mengintip sedikit isi tas cangklong biruku yang selalu kubawa ke mana mana selama haji ini.
Ada. Aku masih membawa kaos kaki cadangan. Tetapi ah, aku segan dan ogah meminjamkan kaos kakiku untuk mbah Karmi. Kenapa ya? Kenapa ogah? Mungkin sifat pelitku yang mendarah daging selama tinggal di Indonesia tetap belum mau pergi meski sekarang sedang berhaji di haromain.
“Hmm..gimana ya mbah?”
“Ya…aku tidak bisa thawaf dengan kaos kaki berlubang,” Mbah Karmi menepi,menjauhi ka’bah.
Dan aku?
Aku tak juga punya kesadaran untuk meminjamkan kaos kaki cadanganku kepadanya.
Pelit dan juga sifat-sifat lain yang negative ternyata memang susah sembuhnya.padahal pembekalan waktu sebelum haji jelas sekali dikatakan bahwa shodaqoh kita selama perjalanan haji akan dilipatgandakan. Bahkan sampai puluhan ribu kali lipat. Tapi ya itu, susah saja untuk tidak pelit.
Jadi kebiasaan kita selama hidup akhirnya menentukan akhir dari kehidupan kita, ya seperti itu mungkin kejadiannya. Kita sadar kalau perbuatan ini baik, sikap ini buruk, tetapi bawah sadar kita yang lebih bicara.
** seperti diceritakan kisah seseorang kepada penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar