Kue Ibu (Juara II Lomba cerpen anak Tingkat Jateng)

Kue Ibu
Oleh Dian Nafi


Fariz tersenyum senang sepulang sekolah. Di meja makan ada sebuah bingkisan. Tak sabar ingin tahu isinya,  dia membukanya.
“Wow!”
Air liurnya hampir menetes.
“Pasti kue ini enak sekali.”
Dibacanya tulisan di kardus bungkusnya. Sebuah nama toko kue terkenal. Ia pernah makan kue sejenis itu dari toko yang sama.
“Pantas saja”
Dan ada nama ibunya di bungkus itu.
“Wah! Nggak jadi makan deh”
Ibu selalu berpesan untuk tidak makan sesuatu sembarangan. Semua yang ditujukan kepada ibu, harus minta ijin dulu kepada ibu.
Fariz patuh dengan aturan ibu. Karena ibu membuat peraturan untuk kebaikan Fariz juga.
Fariz bergegas berganti pakaian. Anak itu sudah terbiasa mandiri. Meski masih berumur enam tahun. Ayahnya sudah meninggal dunia. Dia yatim sejak tiga tahun lalu.

“Mas Fariz, mau minum apa?” tanya yu Tun, pembantu di rumah itu.
“Nanti saya ambil sendiri,yu. Terimakasih”
Fariz duduk di kursi ruang makan. Berdoa sebentar. Kemudian makan nasi dan lauk yang ada. Sesekali matanya melirik bingkisan berisi kue lezat itu. Tapi ia tak menyentuhnya.
Setelah makan nasi, ia makan kue lainnya. Yang sudah disediakan untuknya. Bukan kue dalam bingkisan. Untuk mengurangi rasa penasaran.

**

Hari sudah sore. Fariz menunggu ibu dengan sa
Hari sudah sore. Fariz menunggu ibu dengan sa
Hari sudah sore. Fariz menunggu ibu dengan sabar.
Ketika ibu pulang, Fariz langsung menyambutnya. Mencium punggung telapak tangannya. Ibu mencium pipi kanan dan kirinya.Ah, ibu. Seharian aku rindu ibu, bisik Fariz dalam hati.
“Apa kabar anakku sayang?”
“Alhamdulillah baik, bu. Ibu, apa kabar?”
“Alhamdulillah baik juga. Ibu mau sholat dan mandi dulu ya. Nanti kita cerita-cerita”
Ibu memeluk Fariz sekali lagi. Kemudian masuk kamar.
Sebenarnya Fariz tak sabar. Tapi dia menahan diri. Sambil menunggu ibunya, ia menonton televisi.
**
Ibu keluar dari kamar dengan baju ungu. Cantik sekali. Berjalan ke arah teras. Ke tempat mereka biasa bersenda gurau.
Setelah ibu beristirahat sejenak, Fariz mendekati sambil membawa kue yang tadi siang dilihatnya.
“Ada bingkisan untuk ibu  berisi kue. Aku ingin makan kuenya. Boleh?”
Ibu melihatnya sebentar. Lalu memanggil yu Tun, pembantu mereka.
Yu Tun sedang menyapu halaman. Segera mendekat ketika dipanggil.

“Siapa yang mengirim ini, yu?”
Tanya ibu sambil menunjuk kue. Ibu meletakkan kue di meja teras.
“Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ada kartu namanya bu. Ini”
Yu Tun mengeluarkan kartu nama dari saku bajunya.
Ibu mengamati kartu nama itu.
“Terimakasih,yu.” Ujar ibu.
Yu Tun kembali bekerja.

Ibu memegang pundak Fariz dengan lembut. Mereka duduk bersebelahan.
“Kita tidak boleh memakan kue ini, Fariz”
“Kenapa begitu bu?” tanya Fariz.
“Karena ini bukan milik kita” jawab ibu.
“Tapi kue ini kan diberikan untuk ibu” sergah Fariz.

“Karena ibu ini hakim, sayang.”
Ibu membelai rambut Fariz dengan penuh kasih sayang.
“Kenapa dengan hakim, bu?”
Fariz meletakkan kepala di pangkuan ibunya.
“Kadang-kadang ada orang yang memberi sesuatu kepada ibu untuk tujuan tertentu”
Fariz mengernyitkan dahinya.
“Itu yang disebut dengan menyogok. Memberi dengan tujuan supaya ibu membantu agar keputusan pengadilan memihak kepadanya” lanjut ibu.
“Memberi kan baik,bu. Membantu juga baik”
Fariz memang kritis. Dia berani mengemukakan pendapatnya.
“Tetapi menyogok atau menyuap haram hukumnya”
“Menyuap?”
Fariz selalu bertanya dan bertanya lagi jika belum puas dengan satu jawaban.
“Iya. Memberikan kue kepada ibu hakim agar urusan di pengadilan beres dan memihak dia, itu namanya menyuap”
“Ooooo....jadi kita tidak boleh memakannya?” Fariz bertanya lagi. Sambil memandangi kue yang lezat itu.
“Karena memakan barang haram akan menjadi api dalam perut” kata ibu.
“Hiiiii….terbakar dong,bu”

Ibu diam sejenak. Mungkin mencari penjelasan yang tepat.
“Artinya tubuh kita terkotori barang yang haram. Bisa terbakar di neraka. Di dunia, perbuatannya bisa jadi tidak baik. Melakukan sesuatu yang tidak disenangi Allah”
“Wah. Ngeri ya bu,” Fariz bergidik.
“Tapi mubazir juga kalau kuenya dibuang,bu,” lanjut Fariz.
“Akan kita kembalikan kepada orangnya. Ibu kan punya kartu namanya,” kata ibu sambil tersenyum. Dengan kartu nama diacungkannya.
“Tapi aku ingin kue yang lezat seperti ini.” 
 “Nanti ibu belikan. Okey? Atau ibu buat kue yang seperti itu? Mau?”
“memang ibu bisa?” Tanya Fariz tak percaya.
“Insya Allah. Ibu bisa. Hanya saja ibu tidak sempat”
Alhamdulillah. Senangnya punya ibu yang jujur dan juga pintar membuat kue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@templatesyard